Merenung sejenak berfikir tentang sebuah tempat yang selalu saya ingat, terpatri di dalam memori otak saya yang semakin penuh. Dari banyak tempat yang saya kunjungi, hanya satu yang selalu membuat saya bersemangat untuk mengunjunginya lagi dan lagi. Tak peduli jalan rusak berlubang kecil berlubang besar bak danau kecil. Tak peduli 6 sampai 12 jam perjalanan Jakarta-Bumiayu, kampung halaman saya.
Mengapa? Kalau anda kesini mungkin kampung saya adalah biasa seperti kampung-kampung yang lain. Jalan desa dengan kadang pesawahan kanan kiri menghampar, kadang kebun, kadang dusun. Pesawahan yang selalu berubah pemandangan kalau saya pulang, kadang hamparan air perak menggenang laksana danau dangkal menyejukkan, kadang padi menghijau bak permadani empuk yang siap saya duduki, kadang pepadian kuning emas merunduk malu tapi membuat mata terpaku. Kadang pemandangan itu berganti dengan riuh rendah pak bu tani memanen padi-padinya yang merunduk malu itu. Tegak bungkuk badan mereka menebaskan arit ke padi-padi itu atau mengibaskan pepadian itu ke mesin penggiling, diributi oleh burung-burung pipit lapar yang juga tak kalah riuh rendah. Pemandangan itu bisa kusaksikan dari teras rumah.
Kalau pagi menjelang, suara ayam berkokok mengiringi adzan merdu berkumandang dari toa beberapa masjid di kampung, membangunkan kami yang terlelap. Udara dingin yang menusuk tidak membuat kami menarik kembali selimut kami, kami tetap mulai beraktivitas. Pagi itu matahari akan muncul dari balik gunung Slamet yang terlihat gagah di sebelah timur kampung saya. Cahayanya menghangatkan udara yang semula dingin.
Asap mulai mengepul dari dapur pertanda Bapa sedang merebus air di pawon (tungku) untuk minum dan mandi, Mama menanak nasi di magic jar, adik atau saya kebagian tugas membeli lauk untuk sarapan pagi itu. Lauk sederhana, murah namun menyehatkan. Kami harus mengantri sambil menghangatkan diri di depan tungku si penjual lauk, ya karena gorengan tempe dan gorengan dage yang menjadi favorit lauk di kampung, baru digoreng setelah dipesan.
Jam 6 pagi, dari teras rumah tempat saya menghabiskan sarapan pagi saya dengan segelas teh manis hangat, saya bisa melihat para petani pergi ke sawahnya dan para murid berangkat sekolah. Sering saling menyapa walaupun saya tak kenal nama, mereka ramah dan membalas menyapa. Saya belum akan beranjak, karena sebentar lagi sekitar jam 06.15 akan datang Mbok Jamu langganan keluarga kami, rumah kami yan pertama kali disambanginya. Dia akan menimba air dari sumur di depan rumah kami untuk mengisi ember kecil tempat mencuci gelasnya itu, lalu melayani kami sekeluarga. Jamu yang hangat segar menyehatkan, sebagai dessert kami di pagi hari. Kemudian kami mulai melakukan aktivitas kami masing-masing. Saya akan kebagian mencuci baju, saya memilih mencuci di kali Pemali dekat rumah.
Anak-anak berangkat sekolah |
Kali Pemali merupakan sungai terbesar di kabupaten Brebes, mengalir dari Paguyangan sampai laut Jawa. Aliran air yang membelah kampung saya sangat deras dan kecokelatan di musim penghujan, dan menjadi sangat jernih di musim kemarau. Banyak denyut perekonomian berjalan di sini, mulai dari mbak buruh cuci, para bapak kekar penambang pasir, si tangan bertuah pemecah batu, para peternak kerbau dan bebek, serta para pencari ikan. Pagi hari akan ramai riuh rendah suara mereka. Melewati sisi sungai yang berbatu di sebelah kuburan desa, tak terasa mencekam karena keindahan pemandangannya.
Siang hari, angin semilir berhembus seakan menembus tembok rumah kami, membuai lembut mata kami sehingga kami pun bisa tertidur. Tidur siang itu bagus kan untuk kesehatan? ^_^
Kala malam menemui desa kami, suara-suara mulai berkurang. Jam 9 malam, mulai satu-satu terdengar suara motor lewat depan rumah kami, terganti suara tonggeret, jangkrik, dan kodok bersahutan seperti sebuah orkestra alam yang merdu. Suara air sungai Subah yang gemericik pelan di belakang rumah pun mulai terdengar, menenangkan. Sungai di kampung kami ada dua, membuat kampung kami berada di tengahnya mirip negeri Mesopotamia sana. Kami yang tadinya asyik mengobrol, akan mulai masuk ke kamar masing-masing untuk tidur. Kecuali jika piala dunia dan bulan puasa, kami akan terbangun di tengah malam untuk melakukan aktivitas.
Itulah kampung halaman saya, jelek tapi indah, sederhana, dingin, namun, banyak kenangan terukir di sini. Masa kecil yang bahagia, saya lalui di sini, bermain di kali, dikejar babi hutan di perbukitan kecil yang mengelilingi kampung kami, kadang menarik sebatang tebu dari truk pengangkut tebu yang sedang berjalan, belajar mengaji sehabis Maghrib di rumah ustad, dan masih banyak lagi. Sampai saat ini pun, kampung saya tidak banyak berubah. Di sini saya pun belajar kehidupan, belajar tata krama, belajar agama, belajar berteman, dan belajar-belajar yang lain.
Namun, dua tahun ini ada sedikit perubahan pada rutinitas kami sekeluarga (jika saya pulang kampung), karena Bapa terkena serangan jantung (alhamdulillah sekarang penyumpat pembuluh darahnya sudah hilang). Pawon (tungku) itu sudah dibersihkan digantikan dengan kompor gas, dan rutinitas mencuci baju di kali Pemali pun sudah diganti dengan mesin cuci di rumah. Itu semata-mata agar Bapa dan Mama tidak kecapaian, maklumlah mereka sekarang hanya berdua di rumah. Tapi, sawah, sungai, jalanan, gunung Slamet, dan perbukitan yang mengelilingi kampung saya masih tetap sama seperti 20 tahun yang lalu.
Salam hangat dari kampung saya di Bumiayu :) |
Mbak Nurul Noe, tanggung jawab ya sekarang, karena GA ini saya jadi kangen ingin pulang kampung :) dan menyadari bahwa saya ternyata tidak pernah memfoto rumah kami di kampung :).
Tulisan ini dipersembahkan dalam rangka GiveAway A Place to Remember dari Mak Nurul Noe
udah bli tiket mudik belom mbaa buat lebaran, hehe
ReplyDeletebeluuuuummm... sudah dibuka ya pembelian tiket kereta? kemarin sih mudik naik motor,,,
DeleteAaaa baca ini jd kangen kampungku makkk....seger bgtttt kl di desa..eh itu pawon kyk pawon dirumah ibukku hihi
ReplyDeleteiya memang, sejuk dan tenang gitu.. ya walaupun waktu kemarin masa pemilu agak memanas, tapi justru itulah semangat pemilunya jadi terasa sekali... :)
DeleteLama gak pake korek jor. :D
ReplyDeleteSukses GAnya ya, Mba.
iya De'.. kangen pake sempor juga... kadang mulut sudah capek niup2 tapi apinya belum nyala2, yang ada asap doang yg muncul... wkwkwkwk kalo gitu Mama sdh berkicau merdu karna air y direbus pasti bau sangit... :D
Deletetak ada tempat dan rumah yg hangat selain kampung halaman sendiri
ReplyDeleteBagi saya iya Mba.. :)
Deletehai riski...
ReplyDeleteejie baca ni GA nya.
tau ngga, ejie mau tuh main di sungainya.. heheh
kl niup2 tungku, pernah ejie wkt di baduy ampe kaki tangan sama muka ikutan item.... xixxiixiiii
suasana begitu ejie ngga pernah punya di masa kecil. soalnya pindah2 terus ikut ortu
justru karena pindah2 itu jadi Ejie lebih banyak pengalamannya dong.. :) ikutan GAnya Jie.. :)
Deletewah ada kompor tungku ya, enak ya masak pakai kayu bakar wanginya beda
ReplyDeleteBener mak, wanginya beda. Apalagi ugh banyak asapnya
Deletembak riski bumiayunya mana ? kayaknya buaran ya? buarane ndi mba?aku kali langkap
ReplyDeletehehehe... rahasia dong ya.. ntar banyak yg main, Mamak saya repot dong.. temen anaknya main eh anaknya ga di rumah (lg ngerantau).. tebak saja Mas.. Bumiayunya mana.. :)
DeleteItu sawahnya masih sampe sekarang? Saat aku kecil masih ada sawah deket rumah, Mba Riski. Sekarang sih sudah jadi perumahan semua hehehe... met kangen kampung halaman ya :)
ReplyDeleteTerima kasih sudah berpartisipasi di GA ini ya. Good luck :)
Masih.. :) Masih luas dan bukitnya juga masih banyak pohonnya, yang berubah hanya aktivitas di rumah saya saja.. :) Terimakasih sudah berkunjung.. :)
DeleteMuahaha.. kenapa aku yang dimintai tanggung jaenaabb.. :D
ReplyDeleteBTW, itu foto sawah, gubung dan pohon.. harmony bangeettt.
makasih udah ikut GA ku yaaa :* muach
hehehehe... harus dong..
Deleteitu sawah dari jaman saya TK sampai sekarang ga ada yg berubah Mbak.. jadi penanda juga kalo sebentar lagi sampai rumah.. :)