Assalaamu'alaikum...!! ^_^
Saya pernah menulis di ReeNgan tentang bagaimana prinsip suami saya tentang utang. Beliau berprinsip bahwa semisal belum mempunyai uang untuk membeli barang, ya kita menabung dulu sampai uangnya cukup untuk membeli barang tersebut. Tapi, tidak selamanya hidup itu berjalan dengan mulus, kami pun pernah beberapa kali memutuskan untuk meminjam uang ke saudara dan teman dekat. Hal itu kami lakukan karena kebutuhan yang sangat mendesak dan kami yakin insyaa Allah kami bisa mengembalikannya.
Saya flash back dulu ke jaman sebelum saya menikah. Saya lupa tepatnya kapan pertama kali saya meminjam uang. Yang saya ingat, saya jadi semacam ketagihan meminjam uang, apalagi saat kuliah. Jumlahnya memang tidak banyak. Awalnya saya menganggap enteng karena toh saya catat juga. Sampai akhirnya saya menikah, lalu mengetahui bahwa suami punya prinsip seperti yang saya sebutkan di atas dan saya membaca postingan dari mas Saptuari tentang utang dan riba. Saya memutuskan untuk berhenti meminjam uang.
Postingan lain: Hidup Tanpa Utang, Bisakah?
Dari SD, saya sudah tahu bahwa utang yang tidak terlunasi itu akan dibawa mati. Tapi, ya saya hanya sebatas tahu saja. Dulu pun saya menganggap bahwa umur saya masih panjang sehingga saya tidak perlu mengkhawatirkan tentang utang (astaghfirullah). Tapi, setelah saya menginjak usia 28 tahun, saya sadar bahwa waktu berjalan sedemikian cepat dan tidak ada manusia yang tahu kapan kontrak dunianya habis. Manusia sama seperti makhluk hidup lainnya yang akan mati dan tidak tahu kapan matinya. Setelah berpikir seperti itu, entah ada dorongan darimana lantas saya bertekad untuk melunasi utang-utang saya.
Utang saya tidak banyak bila dibandingkan dengan utang negara. Insyaa Allah tidak mencapai puluhan juta, namun tetap terasa banyak buat saya. Utang saya juga tidak di satu orang, ada beberapa orang yang saya utangi.
Sejak saya bertekad untuk melunasi utang, saya lalu membuat daftar utang dari jaman saya masih SMP sampai saat saya membuat daftar itu. Utang jaman SMP itu sebetulnya bukan utang, tapi saya khawatir pernah kelupaan tidak membayar jajan karena ingatan jaman SMP dan SMA saya seperti menghilang begitu saja. Akhirnya, dengan ingatan yang payah itu, saya berhasil juga membuat daftar orang yang saya utangi beserta jumlahnya. Ada yang pasti angkanya, dan ada juga yang saya kira-kira. Lantas saya bingung harus mulai darimana dan bagaimana caranya saya melunasi utang saya itu.
Setelah lama berpikir dan membaca beberapa buku finansial di Gramedia, saya lalu membagi utang saya menjadi:
- Utang yang sedikit dan mudah dilunasi. Artinya jumlah utang saya pada orang itu sedikit (di bawah Rp 500.000) dan saya bisa dengan mudah menghubungi orang yang saya utangi.
- Utang yang sedikit tapi susah dilunasi. Dimana saya sudah putus kontak sama sekali dengan orang yang saya utangi, atau saya harus membutuhkan biaya transport yang banyak untuk mendatangi orang yang saya utangi tersebut. Hingga akhirnya, dana yang harus dikeluarkan menjadi lebih banyak.
- Utang yang banyak dan mudah dilunasi.
- Utang yang banyak dan susah dilunasi.
Setelah membagi utang saya ke dalam 4 kategori tersebut, lalu saya mulai melunasinya. Saya mengikuti saran dari Dave Ramsey yang punya Snow Ball Theory (melunasi utang dari yang terkecil) dan juga sesuai dengan kondisi keuangan saya saat itu. Jadi, saya mulai melunasi utang-utang saya sesuai urutan sebagai berikut:
- Utang yang sedikit dan mudah dilunasi
- Utang yang banyak dan mudah dilunasi
- Utang yang sedikit tapi susah dilunasi
- Utang yang banyak dan susah dilunasi
Kata teman saya, alhamdulillah-nya saya belum sampai ambil KPR, kredit kendaraan bermotor, atau kecanduan utang, sehingga jumlah utangnya masih tergolong sedikit.
Dari pengalaman saya melunasi utang tersebut, ada beberapa orang yang tidak mau menerima pelunasan utang saya dengan alasan beliau tidak pernah merasa kalau saya berutang kepadanya. Untuk kasus seperti ini, suami saya pernah mengajari saya untuk berucap, "Maaf Pak/Bu/Kak, saya merasakan hampir pasti bahwa saya berutang kepada Bapak/Ibu/Kakak. Jika Bapak/Ibu/Kakak tidak merasa memberikan utang kepada saya, saya maklumi. Tapi uang ini tetap akan saya keluarkan. Nanti uang ini saya sumbangkan kepada anak yatim piatu atau janda atau fakir miskin atau masjid atas nama Bapak/Ibu/Kakak." Kelihatannya agak memaksa ya, tapi ya gimana, balik lagi ke alasan kenapa saya begitu bertekad untuk melunasi utang tadi.
Darimana saya mendapatkan uang untuk melunasi utang tersebut? Uang untuk melunasi utang itu adalah uang sisa dari jumlah pemasukkan dikurangi pengeluaran tiap bulan. Selama periode melunasi utang, saya berusaha sekuat tenaga tidak membeli sandang dan berhemat sehemat mungkin. Selain itu, uang dalam tabungan, sengaja saya ambil semua untuk melunasi utang-utang. Setelah tabungan saya kosongkan, tidak dipungkiri kalau saya merasa hampa, dan berasa tidak punya uang sama sekali. Itu wajar enggak ya? Tapi setelah beberapa bulan, saya mulai terbiasa.
Sekarang ini, bila ada keinginan untuk meminjam uang, saya akan langsung mengingat perjuangan saya melunasi utang. Sehingga saya akan berpikir ulang bila ingin meminjam uang yang bukan untuk kebutuhan mendesak. Bila pun terpaksa meminjam uang, saya harus punya jaminan bahwa uang tersebut insyaa Allah bisa saya kembalikan sesuai waktu yang saya janjikan.
Saya sadar sepenuhnya bahwa saya bukan orang yang sempurna, tapi saya yakin bila kita sudah bertekad untuk sesuatu hal yang baik, maka jalan keluar akan terbuka lebar. Teman ReeNgan sendiri bagaimana? Jangan sampai kecanduan utang ya, itu sungguh tidak mengenakkan. [] Riski Ringan
Sejauh ini aku punya 3 hutang, Mbak. Dan dalam jumlah yg banyaak oula. Semoga disegerakan Allah untuk melunasinya. Memang bener hidup jadi nggak tenang. Apalagi nanti kalau sudah meninggal.
ReplyDeleteAamiin ya robbal'alamiin, semoga Kak Diyanika disegerakan melunasi utang ^_^
DeleteHutang itu seperti jerat. Jadi hindari sebisa mungkin.apalagi kalau cuma untuk barang2 konsumtif. Hidup lebih tenang tanpa hutang.
ReplyDelete